Ada yang berbeda dengan obrolan- obrolan zaman sekarang.
Dulu, di kantin atau di warung kita bisa ngobrol berjam-jam bercerita dengan teman sampai lupa akan waktu dengan ditemani secangkir kopi. Sekarang? Coba lihat disekeliling kita, di meja makan, di kafe bahkan ditengah- tengah kumpulan keluarga, kebanyakan orang – orang pada menunduk fokus dengan layar masing-masing, obrolannya masih ada bahkan menanggapinya pun hanya dengan kata singkat , tapi perhatian utuh nya seolah menjadi bahan langka.
Kita hidup di dunia digital tapi putus secara emosional, sungguh miris sekali dunia ini, jangan sampai kita kehilangan seni komunikasi dan mendengarkan hanya karena digital.

Dari mata ke mata bukan dari layar ke layar.
Pernah gak sih kalian bercerita tapi teman kalian malah fokus ke HP atau bahkan kita sendiri yang melakukannya, miris bukan? Fenomena ini di sebut “phubbing” mengabaikan orang lain di depan kita demi ponsel yang kita genggam. Namun secara sadar kitapun tahu dengan kita melakukan itu orang lain merasa tidak dihargai.
Padahal obrolan yang penuh perhatian mempunyai kekuatan yang tak tergantikan, bukan hanya bertukar informasi tapi juga kita bisa belajar berempati.
Di tengah hiruk piruk dunia digital ini kita butuh tempat yang emang bisa mendengarkan obrolan kita, entah itu tentang akademik, pekerjaan bahkan sampai dengan cerita random, kita butuh “zona yang netral” mungkin bisa di cafe atau tempat yang semacam dengan itu.
Tapi ruang fisik saja tidak cukup, yang kita butuhkan juga yaitu kemampuan mendengarkan, ettss tapi yang bener- bener mendengarkan ya, tanpa harus ngecek notifikasi dan yang benar-benar hadir tanpa memotong, tanpa menyiapkan respons sebelum lawan selesai bercerita.
Seni mendengarkan yang hampir punah.
Mendengarkan adalah bentuk penghargaan tertinggi, fokuslah pada lawan bicara mu anggaplah dia penting dan ceritanya juga penting.
Sayangnya itu bukan hal yang mudah otak kita sudah terbiasa dengan hal yang serba cepat, notifikasi, scroll tanpa akhir, dan informasi yang lompat- lompat, bayangkan sekarang ini kebayakan orang lebih suka men scroll sampai akhir dari pada mendengarkan orang lain, mereka lebih butuh gawai/handphone dari pada butuh teman, mereka lebih suka ngobrol dengan ChatGPT yang mereka anggap sanggat mengerti dirinya dari pada orang yang sudah jelas ada fisiknya akibatnya kita tidak punya rasa empati yang tinggi, kurangnya sopan santun dan fokus kita pun akan terfragmentasi.
5 cara mengembalikan seni mendengarkan.
- Tinggalkan ponsel, buka mata dan fokus mendengarkan
Jauhkan ponsel dari pandangan kita entah itu di letakan di tas atau dimanapun yang penting fokus kita harus ke lawan bicara bukan ke layar. - Dengarkan pahami baik- baik bukan untuk menjawab
Kita harus mendengarkan lawan bicara kita dengan baik jangan memotong apalagi terlalu cepat memberikan solusi, biarkan lawan kita sepenuhnya meresa didengarkan. - Ajukan pertanyaan yang dalam
Berikan pertanyaan yang lebih personal agar obrolannya jadi lebih bermakna, contohnya
“Akhir- akhir ini apa yang membuat kamu jadi tambah semangat ?” - Berlatih hadir sepenuhnya
Jika pikiran mu lagi melayang bilang temanmu ” Maaf bisa ulangi lagi tadi aku sedang melamun ” Katakan saja dengan jujur, tanpa pura-pura mendengarkan karena jujur itu lebih baik. - Jadikanlah tempat yang kamu kunjungi sebagai “zona bebas ponsel”
Coba tantang teman mu untuk tidak menyentuh ponsel awalnya mungkin emang awkward tapi percaya deh obrolan akan menjadi lebih hangat dan nyata.
Obrolan yang kembali menghidupkan
Dibalik obrolan yang hilang ada kerinduan akan koneksi yang otentik. Kita rindu di dengarkan dipahami, dan di akui bahwa kita tuh ada. Ingat ini bukan tentang generasi tertentu tapi ini tentang “Manusia” Jangan sampai kita tergantikan oleh gawai/gadget.
Mulai hari ini mari kita hidupkan kembali obrolan kita menjadi seni mendengarkan ” dari obrolan ringan menjadi cerita yang dalam” Karena obrolan bukan tentang kata- kata tapi tentang kehadiran.


